Ketua Ikatan Bidan Indonesia cabang Kota Semarang, Istirochah, S.SiT., M.Kes belum lama ini telah menuntaskan studinya pada program doktor bidang ilmu hukum, setelah menyelesaikan ujian terbuka promosi doctor yang digelar oleh Program Studi Hukum Program Doktor (PSHPD) Untag di kampus Jl. Pemuda 70 Semarang, belum lama ini. Istirochah dinyatakan lulus sebagai doctor baru dengan predikat cumlaude.
Dihadapan para dewan penguji, ketua IBI Semarang tersebut mengupas masalah regulasi perlindungan hukum bagi bidan dalam program Keluarga Berencana yang ia tuangkan dalam bentuk disertasi yang berjudul “Model Perlindungan Hukum Bagi Bidan Terhadap Pemasangan IUD dan Implan Dalam Pelayanan Kesehatan Reproduksi”.
Dalam disertasinya Istirochah disebutkan bahwa capaian prestasi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentunya tidak terlepas dari peran aktif para bidan yang berwewenang melakukan pemasangan alat kontrasepsi IUD dan Implan guna menekan laju pertumbuhan penduduk.
Pemasangan IUD atau Implan tetap dijalankan bahkan cenderung ditingkatkan meskipun pemasangan IUD telah melampaui target yang diharapkan, tambahnya.
Menurut Istirochah, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1464 Tahun 2010 Pasal 13 tertulis bahwa Bidan memiliki kewenangan pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan memberikan pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit.
Kendati demikian, peraturan tersebut sudah dicabut dan diganti Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 28 Tahun 2017 tentang izin dan penyelenggaraan praktik Bidan. Dalam Pasal 21 disebutkan bahwa jenis alat kontrasepsi IUD dan Implan tidak masuk dalam kewenangan Bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
Istirochah menuturkan bahwa dengan adanya aturan tersebut penyelenggaraan praktik Bidan sangat berdampak secara psikis dan keragu-raguan oleh Bidan dalam menjalankan tugasnya.
Bidan sebagai tenaga kesehatan merupakan garda terdepan dalam melakukan pelayanan pada pemasangan alat kontrasepsi IUD dan Implan dalam Kesehatan Reproduksi. Dengan tidak adanya kewenangan Bidan untuk memberi pelayanan pemasangan alat kontrasepsi IUD dan Implan merupakan wujud pendiskriminasi kewenangan, ungkapnya.
Untuk itu, Istirochah dalam penelitiannya menuliskan agar pemerintah diharap dapat meninjau kembali, menyusun, dan menerbitkan aturan perundang-undangan tentang dasar hukum kewenangan pemasangan IUD dan Implan yang dilakukan Bidan, sehingga Bidan mempunyai payung hukum yang kuat sebagai penerima pelimpahan wewenang.
Untuk meningkatkan rasa percaya diri Bidan dalam melakukan tugas pemasangan IUD dan Implan, maka pendidikan profesi Bidan diharapkan memasukkan kurikulum baru pelatihan Contraceptive Technology Update (CTU) dalam mencapai kompetensi pemasangan IUD dan Implan.
Serta diharapkan kerjasamanya kepada Kepala Dinas Kesehatan untuk menerbitkan SK pelimpahan wewenang berupa mandat dan delegatif untuk masing-masing puskesmas, dan juga Kepala Puskesmas bisa memberi pengawasan, monitoring, dan evaluasi kegiatan pemasangan IUD dan Implan oleh Bidan.
Dalam menyusun disertasinya, Istirochah dibimbing oleh Prof. Dr. Sarsintorini Putra, S.H., M.H. (promotor) sekaligus menjabat sebagai sekretaris sidang juga penguji dan Dr. Anggraeni Endah K, S.H., M.H. (co-promotor) yang juga bertindak sebagai penguji.
Penguji lainnya yang hadir, Prof. Dr. Edy Lisdiyono, S.H., M.Hum. (ketua sidang), Prof. Dr. Drs. Suparno, M.Si., Dr. Totok Tumangkar, S.H., M.Hum., Dr. Yulies Tiena Masriani, S.H., M.Hum., MKn., Serta penguji eksternal Prof. Dr. Khoirul Huda, S.H., M.H.