Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untag Semarang yang tergabung bersama Teras (Temu Regional Administrator) Jawa Tengah, telah menggelar seminar nasional tentang penanggulangan bencana alam, yang diselenggarakan di Kampus merah putih Untag, Jl. Pawiyatan Luhur Semarang. kemarin.
Seminar yang bertajuk "Manajemen Bencana Alam Menuju Jawa Tengah Tangguh Bencana" ini telah disampaikan oleh tiga narasumber, yaitu Prof. Dr. Sudarto, PH sebagai pakar Lingkungan, Moch. Chomsul dari BPBD Jawa Tengah, dan Dra. Indra Kertati, MSi selaku akademisi FISIP Untag Semarang, serta moderator oleh Drs. Nur Bagyo Utomo, MSi.
Menurut Dekan Fisip Untag Drs. Dadang Asriyadi, MSi bahwa kegiatan seminar ini, merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh BEM Fisip Untag bersama Teras yang terdiri dari Undip, Unsud, Tidar Magelang, UNS, Universitas Surakarta, Universitas NU Purwokerto dan Unisri Surakarta.
Rangkaian kegiatan ini dilakukan selama empat hari, diantaranya diskusi, seminar nasional penanggulangan bencana alam, tour di kota Semarang dan kegiatan gala diner yang diselenggarakan di kampus Untag.
Dadang berharap temu kangen teras ini dapat terus bersinergi, dan menjadikan mereka sebagai administrator yang tangguh dalam menangani bencana alam, khususnya di Jawa Tengah.
Acara seminar dibuka oleh Rektor Untag Prof. Dr. Drs. Suparno, MSi, yang dalam sambutannya menyampaikan bahwa bencana alam merupakan peristiwa yang tidak diharapkan, namun hal ini bisa terjadi secara tiba tiba, baik perlahan lahan maupun seketika itu juga, yang disebabkan oleh olah manusia, sehingga menyebabkan kerusakan harta benda maupun jiwa.
Maka melalui kegiatan seminar ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui sumber serta akibat dari bencana yang terjadi, dan mengambil peran untuk membantu atau menyelesaikan masalah bencana ini dengan pihak terkait.
Prof. Dr. Sudarto, PH dalam paparannya melihat bencana alam ini, dari sisi hulunya, yang merupakan sumber terjadinya bencana, sebagai langkah untuk merespon bagaimana bencana alam itu bisa terjadi.
Dia memberikan contoh bahwa dulu daerah Mijen dan Gunung Pati terdapat banyak hutan dan perkebunan sehingga mampu menjadi resapan air, namun berjalannya waktu tata ruang yang sudah ditetapkan itu, kini menjadi tata uang, yaitu dengan berdirinya banyak perumahan disana. Sehingga hal ini berdampak pada hilirnya, dimana daerah mangkang kulon dan mangunharjo menjadi banjir karena tidak mampu menopang derasnya air dari sana.
Tapi anehnya ketika terjadi bencana banjir, malah dijadikan komoditi politik, dimana tidak membahas sumber bencananya, tetapi justru digoreng untuk kepentingan politik tertentu, dan pembicaraan itu akan berakhir bersamaan dengan surutnya air tersebut. Oleh karena tidak dibahas atau diselesaikan secara profesional dan proporsional, akibatnya menjadi bencana tahunan.
Sementar pihak BPBD Jateng, Moch Chomsul dan Indra Kertati lebih menitik beratkan pada sisi hilirnya.
Moch. Chomsul mengatakan bahwa penanggulangan bencana alam di Jawa Tengah telah menujukan penurunan resiko yang cukup signifikan. Namun demikian tetap diperlukan adanya dukungan dari berbagai pihak, karena masalah ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi perlu kolaborasi dengan pihak masyarakat dan dunia usaha, serta bantuan dari Perguruan Tinggi maupun media masa.
Sedangkan Indra Kertati yang juga pelaku praktisi lembaga masyarakat yang sudah lama terjun secara langsung ditengah tengah masyarakat korban bencana alam menyampaikan pentingnya lembaga masyarakat dalam membantu menyelesaikan para korban bencana.